Politik dan Radikalisasi di Dalam Lembaga Keagamaan, Antara AS dan Indonesia

Artikel di majalah Atlantic edisi 10 Mei 2022 oleh Tim Alberta menguraikan bagaimana transformasi besar terjadi di dalam Gereja Evangelis kulit putih. Kini gerakan itu lebih didominasi oleh politik ketimbang gerakan yang bersifat spiritual. Tulisan ini hendak menelusuri perkembangan ini dan membandingkannya dengan radikalisasi kelompok Muslim di Indonesia. Dulu gereja evangelis menjauhi politik. Biasanya khotbah pendetanya lebih menekankan evangelisme atau penyebaran kabar baik tentang keselamatan yang dijanjikan oleh Yesus. Namun sekarang sudah umum terlihat pendeta secara berapi-api mendukung Trump, bersikap antimasker dan vaksinasi selama pandemi berlangsung, dan bahwa gereja evangelis yang tidak mengikuti tren ini akan tertinggal dari segi jumlah pengikut. Untuk memperoleh kejelasan tentang fenomena ini, VOA menghubungi Ekaputra Tupamahu, direktur Program Seminari S2 dan dosen Perjanjian Baru di Portland Seminary dan Fox University, Oregon. Tupamahu mengingatkan, masuknya politik ke dalam lembaga gereja ini diawali oleh pengesahan Civil Rights Act oleh Presiden Johnson pada 1964 di mana para Dixiecrats atau Demokrat di Selatan berbondong-bondong beralih ke Partai Republik. Kemudian pada 1979 muncul gerakan moral majority atau mayoritas yang bermoral. "Konsolidasi itu semakin hari semakin kuat, radikalisme ini semakin jelas, polarisasi politik di Amerika semakin kuat, jadi tidak ada ruang banyak untuk compromise (kompromi), purity (kemurnian) politik menjadi nilai paling penting," kata Tupamahu. Juga diingatkan bahwa penggerak dari peralihan ke radikalisasi ini berasal dari umat evangelis sendiri. Kembali Tupamahu menjelaskan, "Jadi kekuatan base pro-Trump ini kuat sekali, jadi di base itu punya sikap antiimigrasi yang kuat, pro life yang kuat, anti abortion (aborsi), anti gay, (anti) homosexual marriage (pernikahan sesama jenis)." Dan umat gereja evangelis ini juga melihat perkembangan populasi Amerika yang semakin bhineka dengan kekhawatiran besar, menurut Tupamahu. Ini disebut sebagai gejala the browning of America. "Ada racial anxiety (kekhawatiran rasial), orang putih merasa anxious (khawatir) sekali bahwa akan ada desegregasi gereja juga, gereja harus dicampur dengan kulit berwarna," tambahnya. Menyinggung isu radikalisme di dalam kelompok Muslim tertentu di Indonesia, Tupamahu berpendapat kelompok Muslim khawatir dengan campur tangan negara ke dalam urusan agama, serta hegemoni budaya Barat yang sangat berpengaruh di Indonesia. Untuk memperjelas situasi, VOA menghubungi Muhammad Afdillah, dosen Studi Agama-agama, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya, dan Kandidat Doktor di Hartford International University for Religion and Peace di Connecticut. Menurut Afdillah, peralihan ke radikalisme ini, baik di Amerika maupun Indonesia, meskipun terjadi di dalam agama yang berbeda, banyak kemiripan. Tetapi di Indonesia ruang gerak untuk kelompok ini sangat dibatasi. "Nah, ini yang membedakan, kalau di Indonesia ruang seperti ini banyak yang ditutup ya. Kelompok yang terindikasi keras itu langsung dibumihangus pada titik tertentu, akses ke perbankan, akses ke media sosial itu pasti habis semua, di Amerika masih ada ruang." Afdillah menekankan bahwa sebenarnya keputusan pembubaran FPI dan HTI misalnya, lewat dekrit presiden, bukan mekanisme yang tepat. Di lembaga Kejaksaan Agung hadir Badan Koordinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat atau Bakorpakem. "Kan bisa saja sebenarnya Kejaksaan kan punya Bakor Pakem toh, menindak lanjuti misalnya ada aduan, ya udah lewat Bakor Pakem diajukan ke pengadilan, lewat sidang yang sah, gitu loh," komentarnya. Selain itu ruang pengungkapan pendapat untuk mereka seharusnya tetap disediakan. [jm/ka]

sumber: www.voaindonesia.com